Rabu, 02 Juni 2010

SIFAT-SIFAT UMUM AKTIVITAS MANUSIA

Pada dasarnya psikologi mempersoalkan masalah aktivitas manusia. Baik yang dapat diamati maupun tidak secara umum aktivitas-aktivitas (dan penghayatan) itu dapat dicari beberapa kaidah hukum psikologi yang mendasarinya hukum-hukum tersebut, sehingga dengan demikian akan dapat memahami anak didiknya dengan lebih baik.

Berikut beberapa contoh aktivitas manusia secara umum yang relevan dalam psikologi pendidikan.

A.Perhatian
1.Pengertian
Pada ahli memberikan 2 definisi pada kata “perhatian” yaitu:
a.Perhatian adalah pemusatan tenaga psikis tertuju pada suatu objek (stern, 1950, P 653, dan Bigot 1950 hal 163)
b.Perhatian adalah banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas
Kedua definisi di atas dipakai secara bertuka-tukar untuk dapat menangkap maksudnya, hendaklah pengertian tersebut tidak dilepaskan dari konteksnya (kalimatnya)

2.Macam-macam perhatian
a.Atas dasar intensitasnya yaitu banyak sedikitnya kesadaran yang menyertai sesuatu aktivitas atau pengalaman batin maka dibedakan menjadi:
1)Perhatian intensif
2)Perhatian tidak intensif

b.Atas dasar timbulnya, maka dibedakan menjadi
1)Perhatian spontan
2)Perhatian sekehendak

c.Atas dasar luasnya objek, perhatian dibedakan menjadi:
1)Perhatian terpencar (distributive)
2)Perhatian terpusat

3.Hal-hal yang menarik perhatian
a.Dipandang dari segi objek
b.Dipandang dari segi subjek

4.Beberapa Kesimpulan Praktis
a.Aktivitas yang disertai dengan perhatian intensif akan lebih tinggi tingkat prestasinya
b.Perhatian spontan akan cenderung lebih lama dan lebih intensif dari pada perhatian yang disengaja
c.Dalam kenyataannya sebagian besar perjalanan justru diterima oleh murid dengan perhatian yang disengaja, oleh karena itu guru atau pendidik seharusnya selalu berusaha untuk menarik perhatian anak—anak didiknya.

B.Pengamatan
1.Pengertian
Manusia mengenal dunia ini secara riil, baik dirinya sendiri maupun dunia sekitarnya dimana dia ada, dengan melihatnya, mendengarnya, membawanya atau mengecapnya. Cara mengenal objek yang demikian itu disebut mengamati, sedangkan melihat, mendengar dan seterusnya disebut modalitas pengamatan. Hal yang diamati itu dialami dengan sifat-sifat; di sini, kini, sendiri dan bermateri.

Berikut beberapa pengaturan pengamatan:
a.Pengaturan menurut sudut pandangan ruang
b.Pengaturan menurut sudut pandangan waktu
c.Pengaturan menurut sudut pandangan gestalt
d.Pengaturan menurut sudut pandangan arti

Adapun proses-proses pengamatan adalah sebagai berikut:
1.Penglihatan
Menurut objeknya penglihatan digolongkan menjadi tiga golongan yaitu:
1)Melihat bentuk
2)Melihat dalam
3)Melihat warna

2.Pendengaran
Mendengar adalah menangkap bunyi-bunyi (suara) dengan indera pendengaran. Dalam kehidupan sehari-hari bunyi itu berfungsi sebagai pendukung arti, karena itulah sebenarnya yang kita tangkap atau yang kita dengar adalah artinya itu, bukan bunyi atau suaranya.

Bunyi dan suara itu dapat kita golongkan atas dasar dua cara, yaitu:

a)Berdasarkan atas keteraturan dapat kita bedakan antara
1.Gemerisik, dan
2.Nada

b)Selanjutnya nada itu biasa dibeda-bedakan atas dasar:
1.Tinggi rendahnya, yang tergantung kepada besar kecilnya frekuensi
2.Intensitasnya yang tergantung pada ampiltudonya
3.Timbrennya yang tergantung pada kombinasi bermacam-macam frekuensi dalam tinggi rendahnya suara

3.Rabaan
Istilah raba mempunyai dua arti, yaitu:
1)Meraba sebagai perbuatan aktif, yang meliputi jaga keseimbangan atau kinestesi, dan
2)Pengalaman raba secara pasif yang melengkapi pola beberapa indera, atau kemampuan lain, yaitu:
a.Indera untuk sentuh atau tekanan
b.Indera untuk mengamati panas
c.Indera untuk mengamati dingin
d.Indera untuk merasa sakit dan
e.Indera untuk vibrasi
Kalau orang meraba dengan mata tertutup, maka akan terjadi visualisasi, artinya kesan rabaan itu akan digambarkan sebagai kesan penglihatan, ini membuktikan betapa pentingnya kedudukan penglihatan itu di antara modalitas-modalitas pengamatan yang lain.


4.Pembauan (penciuman)
Arti psikologis bau dan pembauan (penciuman) masih sedikit sekali diteliti oleh para ahli walaupun dalam kehidupan sehari-hari secara popular telah menyaksikan pengaruh bau-bauan itu kepada aktivitas manusia.
Kualitas bau itu boleh dikata tak terhingga variasinya. Biasanya para ahli yang melakukan penelitian dalam hal ini membuat klasifikasi atas dasar bau utama yang mempunyai sifat khas. Henning (1924) misalnya membedakan adanya enam macam bau utama (bau pokok) itu, yaitu:
1)Bau bunga (blumig)
2)Bau akar (warzig)
3)Bau buah (cruehig)
4)Bau getah (harzig)
5)Bau busuk (faulig)
6)Bau sengit (brenlich)

Sementara Swaatdeaker (Kohnstamm et al, 1955, P 103) menggolongkan bau itu menjadi sembilan macam bau, yaitu:
1)Bau etheris
2)Bau aromatis
3)Bau bunga
4)Bau amber
5)Bau bawang
6)Bau sengit
7)Bau kapril
8)Bau tak sedap, dan
9)Bau memuakan
5.Pencecapan

Dalam kehidupan sehari-hari variasi rasa cecapan itu dibedakan menjadi banyak sekali, akan tetapi indera pengecap terutama hanya terdapat empat macam rasa pokok, yaitu:
1)Manis
2)Asam
3)Asin, dan
4)Pahit

2.Beberapa masalah praktis
1)Kita mengenal dunia riil dengan panca indera
2)Terlebih-lebih pada anak-anak, peranan panca indera dalam menerima pendidikan atau belajar itu boleh dikatakan bersifat menentukan
3)Selama sistem sekolah-sekolah serta pendidikan masih seperti yang kita kenal sekarang ini, maka di antara kelima modalitas pengamatan yang paling penting adalah penglihatan dan pendengaran.

C.Tanggapan Dan Variasinya
1.Pengertian Tanggapan
Yaitu suatu bayangan yang tinggal dalam ingatan setelah kita melakukan pengamatan (Bigot et al, 1950, P. 72)

Tanggapan dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
1)Tanggapan masa lampau atau tanggapan ingatan
2)Tanggapan masa datang atau tanggapan mengantisipasikan
3)Tanggapan masa kini atau tanggapan representatif (tanggapan mengimajinasikan)

Perbedaan antara tanggapan dan pengamatan:
Tanggapan :
1.Cara tersedianya objek disebut representatif
2.Objek tidak ada pada dirinya sendiri tetapi ada (diadakan) pada diri subjek yang menangkap
3.Objek hanya ada pada dan untuk subjek yang menanggap
4.Terlepas dari unsur tempat, keadaan dan waktu

Pengamatan :
1.Cara tersedianya objek disebut persentasi
2.Objek ada pada dirinya sendiri
3.Objek ada pada setiap orang
4.Terikat pada tempat, keadaan dan waktu

D.Fantasi
1.Pengertian
Yaitu daya untuk membentuk tanggapan-tanggapan baru dengan pertolongan tanggapan-tanggapan yang ada, dan tanggapan baru itu tidak harus dengan benda-benda yang ada.
Dapat pula fantasi itu dilukiskan sebagai fungsi yang memungkinkan manusia untuk berorientasi dalam alam imajinasi melampaui dunia riil.
2.Klasifikasi

Secara garis besar fantasi dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
1)Fantasi tidak sadar (tidak disengaja)

2)Fantasi disadari (disengaja)
Fantasi bersifat mengabstraksikan, kalau dalam berfantasi itu ada bagian-bagian yang dihilangkan. Fantasi bersifat mendeterminasikan kalau dalam berfantasi itu sudah ada semacam skema tertentu, lalu diisi dengan gambaran lain. Fantasi bersifat mengkombinasikan kalau menggabungkan bagian dari tanggapan yang satu dengan yang lainnya.

3.Nilai Praktis Fantasi.
1)Fantasi memungkinkan orang menetapkan diri dalam hidup kepribadian orang lain
2)Fantasi memungkinkan orang untuk menyelami sifat-sifat kemanusiaan pada umumnya
3)Fantasi meyakinkan orang untuk melepaskan diri dari ruang dab waktu
4)Fantasi memungkinkan orang untuk melepaskan diri dan kesukaran yang dihadapi
5)Fantasi memungkinkan orang untuk menciptakan sesuatu yang dikejar, membentuk masa depan yang ideal dan berusaha merealisasikannya.

4.Beberapa Catatan Praktis
1)Mengingat besarnya faedah fantasi itu bagi kehidupan manusia sehari-hari
2)Dalam pada itu harus dijaga, supaya perkembangan fantasi itu tetap sehat.
3)Generasi muda kita harus dididik untuk menghadapi hidup dengan optimisme.

E.Ingatan
1.Pengertian
Yaitu beberapa proses dan pengaruh-pengaruh yang lampau, secara teori dapat dikembangkan / dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.Mencamkan, yaitu menerima kesan-kesan
b.Menyimpan kesan-kesan, dan
c.Mereproduksi kesan-kesan

Atas dasar kenyataan itulah, maka biasanya ingatan didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksikan.
2.Mencamkan

Menurut terjadinya, mencamkan itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
a.Mencamkan dengan sekehendak hati, dan
b.Mencamkan dengan tidak sekehendak
3.Mengingat dan lupa
Hal yang diingat adalah hal yang tidak dilupakan dan hal yang dilupakan adalah hal-hal yang tidak diingat (tidak dapat diingat kembali)

4.Reproduksi
Yaitu pengaktifan kembali hal-hal yang telah dicamkan. Dalam reproduksi ada dua bentuk, yaitu:
a.Mengingat kembali (recall), dan
b.Mengenal kembali (recognition)

5.Asosiasi
Yaitu hubungan antara tanggapan yang satu dengan tanggapan yang lainnya dalam jiwa kita.
Adapun hukum-hukum asosiasi itu adalah sebagai berikut:
a.Hukum sama saat atau serentak
b.Hukum berurutan
c.Hukum kesamaan dan kesesuaian
d.Hukum berlawanan
e.Hukum sebab akibat

F.Berfikir
1.Pengertian
Terdapat dua kesimpulan arti mengenai berfikir, yaitu:
a.Bahwa berfikir itu adalah aktivitas, jadi subjek yang berfikir aktif, dan
b.Bahwa berfikir itu sifatnya ideasional
Jadi berfikir merupakan proses dinamis yang dapat dilukiskan dengan proses atau jalannya.

2.Proses Berfikir
Proses jalannya berfikir itu pada pokoknya ada tiga langkah, yaitu:
a.Pembentukan pengertian
b.Pembentukan pendapat dan
c.Penarikan kesimpulan

3.Psikologi Fikir
Psikologi fikir biasanya dianggap dimulai oleh O. Kolpe dengan mazhabnya, yaitu mazhab Worzborg yang kemudian dilanjutkan oleh mazhab Koln dan mazhab Mannhein.

G.Perasaan
1.Pengertian
Perasaan biasanya didefinisikan sebagai gejala psikis yang bersifat subjektif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenal, dan dialami dalam kualitas senang atau senang dalam berbagai taraf.

2.Macam-macam perasaan
Bigot dengan kawan-kawannya (1950, P. 534) telah memberikan ikhtisar mengenai perasaan itu yang kiranya sangat berguna bagi rangka pembicaraan yaitu sebagai berikut:

a.Perasaan-perasaan jasmaniah (rendah):
1)Perasaan indriah
2)Perasaan vital

b.Perasaan-perasaan rohaniah
1)Perasaan intelektual
2)Perasaan kesusilaan
3)Perasaan Keindahan
4)Perasaan social
5)Perasaan harga diri
6)Perasaan Keagamaan

H.Motif-Motif
1.Pengertian
Yaitu keadaan dalam pribadi orang yang mendorong untuk melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna mencapai suatu tujuan.

2.Macam-macam motif
a.Menurut Woodworth dan Marguis (1955, P. 301. 333) motif itu dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu:
1)Kebutuhan-kebutuhan organic
2)Motif-motif darurat
3)Motif-motif objektif

b.Penggolongan lain didasarkan atas terbentuknya motif-motif itu, yaitu:
1)Motif-motif bawaan
2)Motif-motif yang dipelajari

c.Berdasarkan atas jalarannya, yaitu:
1)Motif-motif ekstrinsik
2)Motif-motif intrinsik

d.Berdasarkan isi dan persangkutpautannya, yaitu:
1)Motif jasmaniah
2)Motif rohaniah

IQ, EQ dan SQ ( KECERDASAN TUNGGAL MENJADI KECERDASAN MAJEMUK)


Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari Allah SWT kepada manusia dan menjadikannya sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus menerus mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks, melalui proses berfikir dan belajar secara terus menerus.
Dalam pandangan psikologi, sesungguhnya hewan pun diberikan kecerdasan namun dalam kapasitas yang sangat terbatas. Oleh karena itu untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya lebih banyak dilakukan secara instingtif (naluriah). Berdasarkan temuan dalam bidang antropologi, kita mengetahui bahwa jutaan tahun yang lalu di muka bumi ini pernah hidup makhluk yang dinamakan Dinosaurus yaitu sejenis hewan yang secara fisik jauh lebih besar dan kuat dibandingkan dengan manusia. Namun saat ini mereka telah punah dan kita hanya dapat mengenali mereka dari fosil-fosilnya yang disimpan di musium-musium tertentu. Boleh jadi, secara langsung maupun tidak langsung, kepunahan mereka salah satunya disebabkan oleh faktor keterbatasan kecerdasan yang dimilikinya. Dalam hal ini, sudah sepantasnya manusia bersyukur, meski secara fisik tidak begitu besar dan kuat, namun berkat kecerdasan yang dimilikinya hingga saat ini manusia ternyata masih dapat mempertahankan kelangsungan dan peradaban hidupnya.
Lantas, apa sesungguhnya kecerdasan itu ? Sebenarnya hingga saat ini para ahli pun tampaknya masih mengalami kesulitan untuk mencari rumusan yang komprehensif tentang kecerdasan. Dalam hal ini, C.P. Chaplin (1975) memberikan pengertian kecerdasan sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Sementara itu, Anita E. Woolfolk (1975) mengemukan bahwa menurut teori lama, kecerdasan meliputi tiga pengertian, yaitu : (1) kemampuan untuk belajar; (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh; dan (3) kemampuan untuk beradaptasi dengan dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Memang, semula kajian tentang kecerdasan hanya sebatas kemampuan individu yang bertautan dengan aspek kognitif atau biasa disebut Kecerdasan Intelektual yang bersifat tunggal, sebagaimana yang dikembangkan oleh Charles Spearman (1904) dengan teori “Two Factor”-nya, atau Thurstone (1938) dengan teori “Primary Mental Abilities”-nya. Dari kajian ini, menghasilkan pengelompokkan kecerdasan manusia yang dinyatakan dalam bentuk Inteligent Quotient (IQ), yang dihitung berdasarkan perbandingan antara tingkat kemampuan mental (mental age) dengan tingkat usia (chronological age), merentang mulai dari kemampuan dengan kategori Ideot sampai dengan Genius (Weschler dalam Nana Syaodih, 2005). Istilah IQ mula-mula diperkenalkan oleh Alfred Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford berusaha membakukan tes IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mempertimbangkan norma-norma populasi sehingga selanjutnya dikenal sebagai tes Stanford-Binet.
Selama bertahun-tahun IQ telah diyakini menjadi ukuran standar kecerdasan, namun sejalan dengan tantangan dan suasana kehidupan modern yang serba kompleks, ukuran standar IQ ini memicu perdebatan sengit dan sekaligus menggairahkan di kalangan akademisi, pendidik, praktisi bisnis dan bahkan publik awam, terutama apabila dihubungkan dengan tingkat kesuksesan atau prestasi hidup seseorang.
Adalah Daniel Goleman (1999), salah seorang yang mempopulerkan jenis kecerdasan manusia lainnya yang dianggap sebagai faktor penting yang dapat mempengaruhi terhadap prestasi seseorang, yakni Kecerdasan Emosional, yang kemudian kita mengenalnya dengan sebutan Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Menurut hemat penulis sesungguhnya penggunaan istilah EQ ini tidaklah sepenuhnya tepat dan terkesan sterotype (latah) mengikuti popularitas IQ yang lebih dulu dikenal orang. Penggunaan konsep Quotient dalam EQ belum begitu jelas perumusannya. Berbeda dengan IQ, pengertian Quotient disana sangat jelas menunjuk kepada hasil bagi antara usia mental (mental age) yang dihasilkan melalui pengukuran psikologis yang ketat dengan usia kalender (chronological age).
Terlepas dari “kesalahkaprahan” penggunaan istilah tersebut, ada satu hal yang perlu digarisbawahi dari para “penggagas beserta pengikut kelompok kecerdasan emosional”, bahwasanya potensi individu dalam aspek-aspek “non-intelektual” yang berkaitan dengan sikap, motivasi, sosiabilitas, serta aspek – aspek emosional lainnya, merupakan faktor-faktor yang amat penting bagi pencapaian kesuksesan seseorang.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Pekembangan berikutnya dalam usaha untuk menguak rahasia kecerdasan manusia adalah berkaitan dengan fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan. Kecerdasan intelelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) dipandang masih berdimensi horisontal-materialistik belaka (manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial) dan belum menyentuh persoalan inti kehidupan yang menyangkut fitrah manusia sebagai makhluk Tuhan (dimensi vertikal-spiritual). Berangkat dari pandangan bahwa sehebat apapun manusia dengan kecerdasan intelektual maupun kecerdasan emosionalnya. pada saat-saat tertentu, melalui pertimbangan fungsi afektif, kognitif, dan konatifnya manusia akan meyakini dan menerima tanpa keraguan bahwa di luar dirinya ada sesuatu kekuatan yang maha Agung yang melebihi apa pun, termasuk dirinya. Penghayatan seperti itu menurut Zakiah Darajat (1970) disebut sebagai pengalaman keagamaan (religious experience).
Brightman (1956) menjelaskan bahwa penghayatan keagamaan tidak hanya sampai kepada pengakuan atas kebaradaan-Nya, namun juga mengakui-Nya sebagai sumber nilai-nilai luhur yang abadi yang mengatur tata kehidupan alam semesta raya ini. Oleh karena itu, manusia akan tunduk dan berupaya untuk mematuhinya dengan penuh kesadaran dan disertai penyerahan diri dalam bentuk ritual tertentu, baik secara individual maupun kolektif, secara simbolik maupun dalam bentuk nyata kehidupan sehari-hari (Abin Syamsuddin Makmun, 2003).
Temuan ilmiah yang digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, dan riset yang dilakukan oleh Michael Persinger pada tahun 1990-an, serta riset yang dikembangkan oleh V.S. Ramachandran pada tahun 1997 menemukan adanya God Spot dalam otak manusia, yang sudah secara built-in merupakan pusat spiritual (spiritual centre), yang terletak diantara jaringan syaraf dan otak. Begitu juga hasil riset yang dilakukan oleh Wolf Singer menunjukkan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha yang mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna. Pada God Spot inilah sebenarnya terdapat fitrah manusia yang terdalam (Ari Ginanjar, 2001). Kajian tentang God Spot inilah pada gilirannya melahirkan konsep Kecerdasan Spiritual, yakni suatu kemampuan manusia yang berkenaan dengan usaha memberikan penghayatan bagaimana agar hidup ini lebih bermakna. Dengan istilah yang salah kaprahnya disebut Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab (Sofyan S. Willis, 2005).
Di Indonesia, penulis mencatat ada dua orang yang berjasa besar dalam mengembangkan dan mempopulerkan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual yaitu K.H. Abdullah Gymnastiar atau dikenal AA Gym, da’i kondang dari Pesantren Daarut Tauhiid – Bandung dengan Manajemen Qalbu-nya dan Ary Ginanjar, pengusaha muda yang banyak bergerak dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia dengan Emotional Spritual Quotient (ESQ)-nya.
Dari pemikiran Ary Ginanjar Agustian melahirkan satu model pelatihan ESQ yang telah memiliki hak patent tersendiri. Konsep pelatihan ESQ ala Ary Ginanjar Agustian menekankan tentang : (1) Zero Mind Process; yakni suatu usaha untuk menjernihkan kembali pemikiran menuju God Spot (fitrah), kembali kepada hati dan fikiran yang bersifat merdeka dan bebas dari belenggu; (2) Mental Building; yaitu usaha untuk menciptakan format berfikir dan emosi berdasarkan kesadaran diri (self awareness), serta sesuai dengan hati nurani dengan merujuk pada Rukun Iman; (3) Mission Statement, Character Building, dan Self Controlling; yaitu usaha untuk menghasilkan ketangguhan pribadi (personal strength) dengan merujuk pada Rukun Islam; (4) Strategic Collaboration; usaha untuk melakukan aliansi atau sinergi dengan orang lain atau dengan lingkungan sosialnya untuk mewujudkan tanggung jawab sosial individu; dan (5) Total Action; yaitu suatu usaha untuk membangun ketangguhan sosial (Ari Ginanjar, 2001).
Berkembangnya pemikiran tentang kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) menjadikan rumusan dan makna tentang kecerdasan semakin lebih luas. Kecerdasan tidak lagi ditafsirkan secara tunggal dalam batasan intelektual saja. Menurut Gardner bahwa “salah besar bila kita mengasumsikan bahwa IQ adalah suatu entitas tunggal yang tetap, yang bisa diukur dengan tes menggunakan pensil dan kertas”. Hasil pemikiran cerdasnya dituangkan dalam buku Frames of Mind.. Dalam buku tersebut secara meyakinkan menawarkan penglihatan dan cara pandang alternatif terhadap kecerdasan manusia, yang kemudian dikenal dengan istilah Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligence) (Colin Rose dan Malcolm J. Nicholl, 2002) .
Berkat kecerdasan intelektualnya, memang manusia telah mampu menjelajah ke Bulan dan luar angkasa lainnya, menciptakan teknologi informasi dan transportasi yang menjadikan dunia terasa lebih dekat dan semakin transparan, menciptakan bom nuklir, serta menciptakan alat-alat teknologi lainnya yang super canggih. Namun bersamaan itu pula kerusakan yang menuju kehancuran total sudah mulai nampak. Lingkungan alam merasa terusik dan tidak bersahabat lagi. Lapisan ozon yang semakin menipis telah menyebabkan terjadinya pemanasan global, banjir dan kekeringan pun terjadi di mana-mana Gunung-gunung menggeliat dan memuntahkan awan dan lahar panasnya. Penyakit-penyakit ragawi yang sebelumnya tidak dikenal, mulai bermunculan, seperti Flu Burung (Avian Influenza), AIDs serta jenis-jenis penyakit mematikan lainnya. Bahkan, tatanan sosial-ekonomi menjadi kacau balau karena sikap dan perilaku manusia yang mengabaikan kejujuran dan amanah (perilaku koruptif dan perilaku manipulatif).
Manusia telah berhasil menciptakan “raksasa-raksasa teknologi” yang dapat memberikan manfaat bagi kepentingan hidup manusia itu sendiri. Namun dibalik itu, “raksasa-raksasa teknologi” tersebut telah bersiap-siap untuk menerkam dan menghabisi manusia itu sendiri. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritualnya, tampaknya hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan dirinya maupun umat manusia. Dengan demikian, apakah memang pada akhirnya kita pun harus bernasib sama seperti Dinosaurus ?
Dengan tidak bermaksud mempertentangkan mana yang paling penting, apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional atau kecerdasan spiritual, ada baiknya kita mengambil pilihan eklektik dari ketiga pilihan tersebut. Dengan meminjam filosofi klasik masyarakat Jawa Barat, yaitu cageur, bageur, bener tur pinter, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa dengan kecerdasan intelektualnya (IQ) orang menjadi cageur dan pinter, dengan kecerdasan emosional (EQ) orang menjadi bageur, dan dengan kecerdasan spiritualnya (SQ) orang menjadi bener. Itulah agaknya pilihan yang bijak bagi kita sebagai pribadi maupun sebagai pendidik (calon pendidik)!
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar kita dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang kita miliki, melalui upaya belajar (learning to do, learning to know (IQ), learning to be (SQ), dan learning to live together (EQ), serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri-pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik), dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan para peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusian yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang bermakna (Meaningful Learning) (SQ), menyenangkan (Joyful Learning) (EQ) dan menantang atau problematis (problematical Learning) (IQ), sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang cageur, bageur, bener, tur pinter.
Sebagai penutup tulisan ini, mari kita renungkan ungkapan dari Howard Gardner bahwa : “BUKAN SEBERAPA CERDAS ANDA TETAPI BAGAIMANA ANDA MENJADI CERDAS ! ”

PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH DASAR

A. KARAKTERISTIK ANAK USIA SEKOLAH DASAR

Usia rata-rata anak Indonesia saat masuk sekolah dasar adalah 6 tahun dan selesai pada usia 12 tahun. Kalau mengacu pada pembagian tahapan perkembangan anak, berarti anak usia sekolah berada dalam dua masa perkembangan, yaitu masa kanak-kanak tengah (6-9 tahun), dan masa kanak-kanak akhir (10-12 tahun).

Anak-anak usia sekolah ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan anak-anak yang usia nya lebih muda. Ia senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung.

Menurut Havighurst, tugas perkembangan anak usia sekolah dasar meliputi:
1. Menguasai ketrampilan fisik yang di perlukan dalam permainan dan aktivitas fisik.
2. membina hidup sehat
3. Belajar bergaul dan bekerja dalam kelompok.
4. Belajar menjalankan peranan sosial sesuai dengan jenis kelamin.
5. Belajar membaca, menulis, dan berhitung agar mampu berpartisipasi dalam kelompok.
6. Memperoleh sejumlah konsep yang diperlukan untuk berfikir efektif.
7. Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai.
8. Mencapai kemandirian pribadi

B. PERKEMBANGAN ANAK USIA SEKOLAH DASAR

1. Perkembangan fisik
Sampai dengan usia sekitar 6 tahun telihat bahwa badan anak bagian atas berkembang lebih lambat daripada bagian bawah. Anggota-anggota badan relatif masih pendek, kepala dan perut relatif masih besar. Selama masa akhir anak-anak, tinggi bertumbuh sekitar 5% hingga 6% dan berat bertambah sekitar 10% setiap tahun. Pada usia 6 tahun tinggi rata-rata anak adalah 46 inchi dengan berat 22,5 kg. Kemudian pada usia 12 tahun tinggi anak mencapai 60 inchi dan berat 40-42,5 kg (Mussen, Conger & Kagan, 1969).
Jadi, pada masa ini peningkatan berat badan anak lebih banyak daripada panjang badannya. Kaki dan tangan menjadi lebih panjang, dada dan panggul lebih besar. Peningkatan berat badan anak selama masa ini terjadi terutama karena bertambahnya ukuran sistem rangka dan otot, serta ukuran beberapa organ tubuh. Pada saat yang sama, masa dan kekuatan otot-otot seacar berangsur-angsur bertambah. Pertambahan kekuatan otot ini adalah karena faktor keturunan dan lathan (olahraga). Karena perbedaan jumlah sel-sel otot, maka umumnya anak laki-laki lebih kuat daripada anak perempuan (Santrock, 1995).

2. Perkembangan kognitif
Menurut pada teori kognitif Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah dasar masuk dalam tahap pemikiran konkret-operasional (concrete operational thought), yaitu masa dimana aktifitas mental anak tefokus pada objek-objek yang nyata atau pada berbagai kejadian yang pernah dialaminya.
Ini berarti bahwa anak usia sekolah dasar sudah memiliki kemampuan untuk berpikir melalui urutan sebab akibat dan mulai mengenali banyaknya cara yang bisa ditempuh dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Anak usia ini juga dapat mempertimbangkan secara logis hasil dari sebuah kondisi atau situasi serta tahu beberapa aturan atau setrategi berpikir, seperti penjumlahan, pengurangan, penggandaan, mengurutkan sesuatu secara berseri dan mampu mememahami operasi dalam sejumlah konsep, seperti 5x6=30 ; 30:6=5 (Jhonson & Medinnus, 1974)
Dalam upaya memahami alam sekitarnya mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari panca indra, karena ia mulai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara yang bersifat sementara dengan yang bersifat menetap. Misalnya, mereka akan tahu bahwa air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas keci lyang tinggi, jumlahnya akan tetap sama karena tidak satu tetespun yang tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannya, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya.
Pemahaman tentang waktu dan ruang (spatial relations) anak usia sekolah dasar juga semakin baik. Karena itu, mereka dapat dengan mudah menemukan jalan keluar di ruangan yang lebih kompleks daripada sekedar ruangan dirumahnya sendiri. Anak usia SD telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkannya dapat berpikir untuk melakukan suatu tindakan, tapi ia sendiri bertindak secara nyata. Hanya saja, apa yang dipikirkan oleh anak masih terbatas pada hal-hal yang ada hubungannya dengan sesuatu yang konkret, suatu realitas secara fisik, benda-benda yang benar-benar nyata. Sebaliknya, benda-benda atau peristiwa peristiwayang tidak ada hubungannya secara jelas dan konkret secara realitas, masih sulit dipikirkan oleh anak.
Keterbatasan lain yang terjadi dalam kemampuan berfikir konkret anak ialah egosentrisme. Artinya, anak belum mampu membedakan antara perbuatan-perbuatan dan objek-objek yang secara langsung dialami dengan perbuatan-perbuatan yang objek-objek yang hanya ada dalam pikirannya. Misalnya, ketika anak diberikan soal untuk memecahkan, ia tidak akan mulai dari sudut objeknya, melainkan ia akan mulai dari dirinya sendiri. Egosentrisme pada anak terlihat dari ketidakmampuan anak untuk melihat pikiran dan pengalaman sebagai dua gejala yang masing masing berdiri sendiri.
Terlepas dari keterbatasan tersebut, pada masa akhir usia sekolah (10-12 tahun) atau pra-remaja, anak-anak terlihat semakin mahir menggunakan logikanya. Hal ini diantaranya terlihat dari kemahirannya dalam menghitung yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3. Perkembangan Konsep Diri
Pada awal-awal masuk sekolah dasar, terjadi penurunan dalam konsep diri anak. Hal ini disebabkan oleh tuntutan baru dalam akademik dan perubahan sosial yang muncul di sekolah. Sekolah dasar banyak memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk membandingkan diri dengan temannya. Sehingga penilaian dirinya menjadi realistis. Anak-anak yang secara rutin lebih mungkin untuk melakukan langkah-langkah yang dapat mempertahankan keutuhan harga dirinya. Mereka sering memfokuskan perhatian pada bidang dimana mereka unggul seperti olahraga atau hobi, dan kurang perhatiannya pada bidang yang memberi kesukaran pada dirinya. Hal itu disebabkan karena mereka telah menguasai sejumlah bidang dan pengalaman untuk memperhitungkan kekuatan dalam penampilan diri mereka, maka kebanyakan anak berusaha mempertahankan kestabilan harga diri mereka selama bersekolah.
Penelitian F. Abound dan S. Skerry (1983), menemukan bahwa anak-anak kelas dua jauh lebih cenderung menyebutkan karakteristik psikologisnya (seperti sifat-sifat kepribadian). Dalam pendefenisian diri mereka dan kurang cenderung menyebutkan karakterisrik fisik (seperti warna mata atau pemilikan)

4. Perkembangan Spiritual
Sebagai anak yang tengah berada dalam tahap pemikiran operasional konkret, maka anak-anak usia sekolah dasar akan memahami segala sesuatu yang abstrak dengan interpretasi secara konkret. Hal ini juga berpengaruh terhadap pemahamannya mengenai konsep-konsep keagamaan. Misalnya gambaran tentang tuhan, pada awalnya anak-anak akan memahami tuhan sebagai subuah konsep konkret yang mempunyai perwujudan real, serta memiliki sifat pribadi sperti manusia. Namun seiring perkembangan kognitifnya, konsep ketuhanan yang bersifat konkret ini mulai berubah menjadi abstrak. Dengan demikian, gagasan-gagasan keagamaan, yaang bersifat abstrak dipahami secara konkret, seperti tuhan itu satu, tuhan itu amat dekat, tuhan itu ada dimana-mana, mulai dapat di pahami.

5. Perkembangan Bahasa
Usia SD merupakan berkembang pesatnya mengenal pembendaharaan kata. Pada awal masa sekolah, anak menguasai kurang lebih 2500 kata dan pada masa akhir sekolah menguasai kurang lebih 30.000 kata. Sehingga pada anak ini mulai gemar membaca dan berkomunikasi dengan orang lain.
Faktor yang mempengaruhi komunikasi pada masa sekolah yaitu kematangan oragan bicara dan proses belajar. Pada usia SD perkembangan bahasa telah mencapai tingkatan :
1. Dapat membuat kalimat yang lebih sempurna.
2. dapat membuat kalimat yang lebih majemuk.
3. Dapat menyusun dan mengajukan pertanyaan.

Hal tersebut bertujuan untuk :
1. Agar dapat berkomunikasi dengan orang lain.
2. Anak dapat menyatakan isi hati dan perasaannya.
3. Memahami atau terampil mengolah informasi yang diterima.
4. Maelatih berfikir atau meyatakan gagasan.
5. Mengembangkan kepribadiannya.
6. Perkembangnan Sosial

Usia SD ditandai dengan perluasan hubungan sosial. Anak mulai keluar dari keluarga menuju masyarakat, anak mulai dapat bekerja sama dengan teman, dan membentuk kelompok sebaya. Kematangan perkembangan sosial pada anak SD dapat dimanfaatkan untuk memberikan tugas-tugas kelompok. Melalui kerja kelompok ini, anak dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan dalam bekerja sama, saling menghormati, tenggang rasa dan bertanggungjawab.

6. Perkembangan Emosi
Anak SD mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidak dapat diterima dalam masyarakat, maka mereka mulai belajar mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan mengontrol emosi pada anak, dipengaruhi oleh suasana kehidupan ekspresi emosi didalam keluarga. Berbagai emosi yang dialami anak SD adalah marah, takut, cemburu, rasa ingin tahu dan kegembiraan yang meluap.

7. Perkembangan Motorik
Seiring dengan perkembangan fisiknya yang beranjak matang, maka perkembangan motorik anak sudah dapat terkoordinasi dengan baik. Pada masa ini ditandai dengan kelebihan gerak atau aktifitas motorik. Oleh karena itu, usia ini merupakan masa yang ideal untuk belajar ketrampilan yang berkaitan dengan motorik, seperti menulis, menggambar, melukis, berenang, main bola, dan atletik. Perkembangan fisik yang normal merupakan salah satu faktor penentu kelancaran proses belajar, baik dalam bidang pengetahuan maupun ketrampilan.

8. Perkembangan moral
Pada usia sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti pertautan atau tuntutan dari orang tua atau lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini anak sudah dapat memahami alasan mendasari suatu peraturan. Di samping itu, anak sudah dapat mengasosiasikan setiap bentuk perilaku dengan konsep benar-salah ataua baik-buruk.

C. TUGAS-TUGAS PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

1. Pengertian Tugas Perkembangan
Tugas perkembangan merupakan suatu tugas yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu, yang apabila tugas itu dapat berhasil dituntaskan akan membawa kebahagiaan dan kesuksesan dalam menuntaskan tugas berikutnya, sementara apabila gagal maka akan menyebabkan ketidakbahagiaan pada diri individu yang bersangkutan, menimbulkan penolakan masyarakat dan kesulitan dalam menuntaskan tugas berikutnya (Yusuf 1992:3).
Munculnya tugas-tugas perkembangan, bersumber pada faktor-faktor berikut:
• Kematangan fisik, misalnya (a) belajar berjalan karena kematangan otot-otot kaki ; (b) belajar bertingkah laku, bergaul dengan jenis kelamin yang berbeda pada masa remaja karena kematangan organ-organ seksual.
• Tuntutan masyarakat secara kultural, misalnya (a) belaar membaca, (b) belajar menulis (c) belajar berhitung, (d) belajar berorganisasi.
• Tuntutan dari dororngan dan cita-cita individu sendiri, misalnya (a) memilih pekerjaan (b) memilih teman hidup.
• Tuntutan norma agama, misalnya (a) taat beribadah kepada Allah SWT, (b) berbuat pada sesama manusia.

2. Tugas Perkembangan Masa Sekolah
Masa sekolah merupakan masa yang penting bagi manusia, terutama menyangkut pembentukan mental dan sosialnya. Tugas-tugas perkembangan pada masa ini ialah:
1. Belajar memperoleh ketrampilan fisik untuk melakukan permainan.
Melalui perumbuhan fisik dan otak anak belajar dan berlari semakin stabil, makin mantap dan cepat. Pada masa sekolah anak sudah sampai pada taraf penguasaan otot, sehingga sudah dapat berbaris, senam pagi, dan permainan-permainan ringan.
2. Membentuk sikap-sikap sehat terhadap dirinya demi kepentingan organismenya yang sedang tumbuh.
Hakikat tugas ini ialah :
(1) mengembangkan kebiasaan untuk memelihara badan.
(2) mengembangkan sikap positif terhadap jenis kelaminnya dan juga menerima dirinya.
3. Belajar bergaul dengan teman-teman sebaya.
Yakni belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru serta teman-teman sebayanya. Pergaulan anak di sekolah atau teman sebyanya mungkin diwarnai perasaan senang atau tidak senang.
4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya.
Apabila anak sudah masuk sekolah, perbedaan jenis kelamin akan semakin tampak. Dari segi permainan akan tampak bahwa permainan yang dilakukan akan berbeda antara laki-laki dan perempuan.
5. Belajar keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung.
Pada usia 6-12 tahun disebut masa sekolah karena pertumbuhan jasmani dan perkembangan rohaninya sudah cukup matang untuk menrima pengajaran.
6. Belajar mengembangkan konsep sehari-hari.
Ingatan mengenai pengamatan yang telah lalu disebut konsep (tanggapan). Bertambahnya pengalaman akan menambah perbendaharaan konsep pada anak. Semakin bertambah pengetahuan, semakin besar pula konsep yang diperoleh.
7. Mengembangkan kata hati.
Hakikat tugas ini ialah, mengembangkan sikap dan perasaan yang berhubungan dengan norma-norma agama. Hal ini menyangkut penerimaan dan penghargaan terhadap peraturan agama disertai dengan perasaan senang untuk melakukan atau tidak melakukannya.
8. Belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi.
Hakikat tugas ini ialah, utnuk dapat menjadi orang yang berdiri sendiri, dalam arti dapat membuat rencana, berbuat untuk masa sekarang dan masa yang akan datang dari pengaruh orangtua dan orang lain.
9. Mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan lembaga-lembaga.
Hakikat tugas ialah mengembangkan sikap sosial yang demokratis dan menghargai orang lain.

KEGIATAN PENDUKUNG KESUKSESAN BELAJAR

Dalam layanan bimbingan dan konseling dapat dilakukan sejumlah kegiatan lain yang disebut kegiatan pendukung. Kegiatan pendukung pada umumnya tidak ditunjukan secara langsung untuk memecahkan masalah, melainkan untuk memungkinkan diperolehnya data atau keterangan lain, serta kemudahan-kemudahan yang akan membantu kelancaran dan keberhasilan kegiatan layanan terhadap lain.

Sejumlah kegiatan pendukung dalam layanan bimbingan dan konseling meliputi kegiatan berikut :

  1. Aplikasi instrumentasi bimbingan dan konseling yaitu kegiatan untuk mengumpulkan keterangan tentang tentang klien yang dilakukan dengan berbagai instrumen berupa tes maupun non tes.
  2. Penyelanggaraan himpunan data yaitu kegiatan menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan klien. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
  3. Konferensi kasus yaitu kegiatan untuk membahas permasalahan yang dialami oleh klien dalam suatu forum pertemuan yang dihadiri oleh berbagai pihak yang diharapkan dapat dapat memeberikan bahan, keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentasnya permasalahan klien. Pertemuan dalam rangka konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup.
  4. Kunjungan rumah yaitu kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentasnya permasalahan klien melalui kunjungan ke rumah.
  5. Alih tangan kasus yaitu kegiatan untuk mendapatkan penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas masalah yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus dari satu pihak ke pihak lain lainnya.


JENIS LAYANAN DAN KEGIATAN PENDUKUNG KESUKSESAN BELAJAR.

  1. Aplikasi Instrumentasi dalam bimbingan belajar

Kegiatan ini meliputi pengungkapan dan pengumpulan data dan keterangan berkenaan dengan kemampuan dan kegiatan belajar siswa yaitu mengenai:

    1. Tujuan belajar dan latihan
    2. Sikap dan kebiasaan belajar
    3. Kemampuan ketrampilan teknis belajar
    4. Kegiatan disiplin belajar serta berlatih secara efektif, efisien, dan produktif.
    5. Penguasaan materi pelajaran dan latihan/ketrampilan.
    6. Pengenalan dan pemanfaatan kondisi fisik, sosial dan budaya di sekolah dan lingkungan sekitar.

Untuk mengungkap masalah belajar telah disusun suatu alat ungkap masalah. Alat ungkap masalah belajar tersebut disusun dengan memperhatikan format dan kandungan isi dari survey of study habits and attitude (SSHA) yang dikembangkan oleh W.F Brown dan W.H Holtzman yang disesuaikan dengan kondisi negeri kita indonesia. Alat baru ini disebut alat ungkap masalah PTSDL. Disingkat (AUMPTSDL), sebagaimana juga SSHA, AUMPTSDL sebagai alat ungkap masalah merupakan instrumen yang cukup sederhana dan mudah untuk mengkomunikasikan berbagai masalah yang dialami siswa (calon siswa ) kepada personil yang akan membantunya ( Guru Pembimbing Konselor).

Dalam bentuknya yang menyeluruh AUM-PTSDL meliputi format 1 untuk mahasiswa, format 2 untuk siswa SLTA , format 3 untuk siswa SLTP dan format 4 untuk siswa SD.

Dengan memperhatikan ruang lingkup dan kondisi kehidupan siswa pada umumnya, maka AUM-PTSDL meliputi sejumlah item yang memuat berbagai masalah yang mungkin dialami siswa, yang kesemuanya itu dikelompokkan ke dalam lima bidang yaitu:

1. Prasyarat penguasaan waktu pelajaran (P)

2. Ketrampilan belajar (T)

3. Sarana belajar (S)

4. Diri pribadi (D)

5. Lingkungan belajar dan sosio emosional (L)

Jumlah item untuk masing-masing bidang tersebut disesuaikan dengan luasnya

jangkauan bidang yang bersangkutan.

  1. Himpunan data dalam bimbingan belajar

Data atau keterangan yang perlu dihimpun dalam kaitannya dengan belajar adalah mengenai karakteristik, kondisi dan perkembangan belajar siswa.

Hasil aplikasi instrumentasi pada umumnya menjadi isi dalam himpunan data, himpunan data juga dapat meliputi hasil wawancara, konfrensi kasus, kunjungan rumah, analisis hasil belajar, pengamatan. Keseluruhan data yang dikumpulkan dapat dikumpulkan dapat dikelompokkan menjadi data pribadi, data kelompok dan data umum.

  1. Konferensi kasus

Masalah yang dikonferensi kasuskan adalah masalah yang kompleks. Permasalahan yang dialami siswa/klien di dalami dan dianalisis berbagai seginya, baik rincian masalahnya, sebab-sebab, sangkut paut antara berbagai hal yang ada didalamnya, maupun berbagai kemungkinan pemecahan serta faktor-faktor penunjangnya. Oleh karena itu tidak setiap masalah belajar selalu di konferensi kasuskan.

  1. Kunjungan rumah

Kunjungan rumah mempunyai tujuan, yaitu pertama untuk memperoleh berbagai keterangan yang diperlukan dalam pemahaman lingkungan dan permasalahan siswa dan kedua untuk pembahasan dan pengentasan masalah klien. Oleh karena itu sama halnya dengan kegiatan konfrensi kasus, bahwa masalah belajar tidak selalu dipecahakan dengan melakukan kunjungan rumah.

  1. Alih tangan kasus

Alih tangan kasus hanya dilakukan apabila Guru Pembimbing menjumpai kenyataan bahwa sebagian atau keseluruhan permasalahan siswa berada di luar kemampuan atau kewenangan Guru pembimbing dengan demikia tidak setiap masalah belajar memerlukan alih tangan kasus.